Perang yang merupakan lembaran hitam dari sejarah kebesaran Majapahit. Perang yang merupakan lembaran hitam juga bagi karir politik mahapatih Gajah Mada. Perang yang akhirnya memaksa Gajah Mada turun dari kedudukannya sebagai mahapatih Majapahit.
Sumber adanya kisah Perang Bubat dapat dilihat dalam buku Pararaton, sebuah karya sastra yang berisi cerita peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kerajaan Singasari dan Majapahit.
Buku lain yang juga banyak menceritakan peristiwa sejarah pada masa yang sama, yaitu buku Negara Kertagama, tidak sekali pun menyebutkan adanya peristiwa perang bubat ini. Dua puluh tahun sejak Gajah Mada mengikrarkan sumpah Palapa-nya yang terkenal. Majapahit telah menjelma menjadi kerajaan besar yang menguasai nusantara dan perairannya.
Dengan armada lautnya yang sangat besar, yang dipimpin oleh laksamana Nala, Gajah Mada telah berhasil mewujudkan cita-citanya mengajak kerajaan-kerajaan di Nusantara bersatu di bawah kekuasan Majapahit.
Gajah Mada mengajak kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara bersatu salah satunya adalah untuk menggalang kekuatan melawan pasukan dari kerajaan Tar Tar yang hendak memperlebar wilayah kekuasaannya sampai ke arah selatan.
Wilayah nusantara yang sebagian besar terdiri atas perairan mendorong Majapahit memperkuat armada lautnya. Armada laut inilah yang setiap hari berpatroli di dalam wilayah laut nusantara melindungi kapal-kapal dagang yang melintas, sekaligus membentengi wilayah nusantara dari kemungkinan serbuan bangsa Tar Tar. Dari mulai Tumasek (Singapura), Tanjungpura, Bali, Dompo, hingga Seram seluruh penguasanya menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.
Tetapi di kala semua kerajaan yang letaknya relatif jauh sudah menyatakan tunduk, ada dua kerajaan yang sangat dekat bahkan seperti di halaman rumah sendiri, belum menyatakan tunduk. Dua kerajaan tersebut adalah Sunda Galuh yang berpusat di Galuh (sekarang berada di sekitar Ciamis), dan Sunda Pakuan yang terletak lebih ke arah barat.
Sebagai sebuah kerajaan yang sudah sangat kuat pada saat itu maka Majapahit dapat saja menundukkan Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran), namun Sang Mapatih lebih memilih menghindari kekerasan dan pertumpahan darah Kerajaan Sunda Galuh saat itu dipimpin oleh seorang raja yang bernama prabu Lingga Buana.
Di sebelah timur, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Majapahit di sepanjang sungai Pamali. Sedangkan di sebelah barat, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Sunda Pakuan di sepanjang sungai Citarum.
Pandangan Gajah Mada untuk sesegera mungkin menyatukan kedua kerajaan Sunda tersebut ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit, bertentangan dengan pandangan kalangan istana.
Baik ibu suri Tribhuana Tunggadewi maupun Dyah Wiyat berpendapat bahwa kerajaan Sunda adalah kerabat sendiri, karena apabila dilihat dari silsilah keluarganya, salah satu leluhurnya berasal dari bangsawan Sunda.
Sementara sikap prabu Hayam Wuruk sendiri terlihat lebih mendukung kedua ibu suri tersebut daripada Gajah Mada. Seiring dengan perjalanan waktu Sang Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara (Raden Tetep) telah beranjak dewasa Pada suatu waktu tibalah saatnya bagi prabu Hayam Wuruk untuk mencari seorang permaisuri yang akan mendampingi dirinya.
Maka dikirimlah beberapa juru gambar untuk melukis putri-putri yang cantik dari kalangan kerajaan bawahan maupun kerajaan tetangga untuk kemudian diperlihatkan kepada sang prabu. Dengan harapan apabila ada salah satu gambar yang berkenan di hati sang prabu, maka tibalah saatnya bagi sang prabu untuk menjatuhkan pilihannya kepada putri yang beruntung tersebut.
Sudah sekian banyak juru gambar yang kembali membawa lukisannya, namun sang prabu Hayam Wuruk masih belum berkenan menjatuhkan pilihannya. Sampai tibalah saatnya dikirim juru gambar ke kerajaan Sunda Galuh untuk menggambar putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang kabar kecantikannya sudah terkenal ke mana-mana.
Sementara itu, Gajah Mada melihat adanya kesempatan untuk membawa kepentingannya sendiri ke dalam utusan juru gambar Majapahit ke Sunda Galuh. Kemudian Gajah Mada menyusupkan beberapa orang bawahannya untuk pergi bersama-sama ke kerajaan Sunda Galuh menyampaikan maksud Gajah Mada agar kerajaan Sunda Galuh segera menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit.
Sekembalinya utusan tersebut, prabu Hayam Wuruk ternyata berkenan dengan kecantikan putri Dyah Pitaloka dan berniat menjadikannya sebagai permaisuri. Maka diberangkatkan rombongan utusan kedua yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan di mana pesta perkawinan antara raja dan putri akan dilangsungkan.
Akhirnya disepakati bersama bahwa raja Lingga Buana, permaisuri, dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan putri Dyah Pitaloka sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibu kota Majapahit. Maka pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah prabu Lingga Buana beserta rombongan ke Majapahit.
Tidak terlalu banyak pasukan yang mengiringi mereka mengingat maksud dan tujuan sang prabu ke Majapahit adalah untuk menikahkan putrinya, Dyah Pitaloka. Perjalanan jauh mereka tempuh dari Galuh (Ciamis) menuju ke ibu kota Majapahit (Trowulan).
Sesampainya rombongan tersebut di lapangan bubat, tanpa terduga rombongan tersebut dicegat oleh utusan Gajah Mada yang menyampaikan maksud Gajah Mada agar putri Dyah Pitaloka diserahkan ke kerajaan Majapahit sebagai persembahan, tanda bahwa Sunda Galuh tunduk dibawah kekuasaan Majapahit.
Namun rombongan sunda bersikeras agar Raja Majapahit harus turun sendiri menjemput pengantin dan rombongannya di daerah tersebut. Sang Mapatih dihadapkan pada dilema, baik menerima maupun menolak persyaratan itu sama-sama akan membahayakan jalinan persatuan Nusantara yang sudah dengan susah payah dibangunnya sebelum ini. Sebuah persatuan yang pada masa itu dapat dipertahankan diatas wibawa Sang Penguasa Kerajaan Majapahit.
Para raja lain dibawah kekuasaan Majapahit akan membaca peristiwa tersebut sebagai isyarat melemahnya kerajaan besar tersebut oleh kepemimpinan Sang Raja yang masih muda itu. Ini berarti akan berkobarnya kembali perang karena pemberontakan dari kerajaan-kerajaan dibawah Majapahit.
Akhirnya perang mulut tak dapat dihindari, keduabelah pihak sama sama mempertahankan pendiriannya masing masing dan tidak mau mengalah. Prabu Lingga Buana merasa harga dirinya terinjak-injak dengan perlakuan Gajah Mada tersebut, namun sebagai seorang pemimpim yang arif sang prabu tidak bertindak gegabah untuk dengan serta merta mengadakan perlawanan di tempat.
Namun kearifan hati sang prabu tidak diikuti oleh segenap anak buahnya. Dalam situasi demikian, setiap orang yang berada dalam rombongan tersebut pasti merasa marah dan dilecehkan. Satu lesatan anak panah, entah terlepas dari busur siapa melaju menerjang utusan Gajah Mada tersebut hingga ambruk. Suasana pun menjadi tidak terkendali.
Perang pun tidak terlelakkan lagi terjadi di lapangan bubat. Rombongan pasukan Sunda Galuh yang tidak siap berperang terpaksa harus menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi pasukan Majapahit yang juga sebenarnya tidak siap untuk berperang.
Kalah jumlah dan berada dalam lokasi yang salah akhirnya seluruh anggota rombongan pasukan Sunda Galuh pun gugur di lapangan bubat, termasuk prabu Lingga Buana dan permaisurinya. Putri Dyah Pitaloka pun akhirnya bunuh diri. Akibat dari peristiwa tersebut prabu Hayam Wuruk akhirnya mencopot jabatan Gajah Mada dari mahapatih Majapahit yang selama ini disandangnya.
Bersambung…
10 TOPIK MENARIK LAINNYA
sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin