Catatan kecil ini tak hendak bicara runut sejarah yang konon banyak versi, namun hanya mendalami salah satu jangkauan visi (perkiraan) dari Prabu Jayabaya, Raja Kediri (1135-1157) tentang “Zaman Kolobendu” (era kekacauan) atau sering disebut “Goro-Goro”.
Boleh percaya boleh tidak, kelak masa itu —menurut prakiraan Prabu— bakal menimpa negeri ini. Entah kapan, tidak ada yang bisa menjelaskan pasti, tetapi tergambar secara tersirat pada suluk (syair penuh makna filosofi)-nya yang ternyata masih “hidup” di tengah-tengah masyarakat hingga sekarang.
Selanjutnya oleh Ranggawarsita, Pujanggga Kraton Solo dekade 1800-an, ramalan Jayabaya diurai melalui sebuah karya berjudul “Jangka Jayabaya”.
Bahkan era sebelum Ranggawarsita pun — yakni Sunan Kalijaga (1450-1546) juga menafsirkan melalui tanda-tanda. Tampaknya bangsa ini, tidak hanya Wong Jowosaja, sangat akrab dengan tembang pertanda Kolobendu dari suluk kedua tokoh (Ranggawarsita dan Kalijaga) tadi. Adapun bunyi suluk tersebut antara lain:
(1) mengko yen mangsane kali ilang kedunge; (2) pasar ilang kumandhange, (3)wong wadon ilang wirange (Terjemahan bebasnya: (1) nanti akan ada masa atau saat ketika sungai kehilangan lubuk; (2) pasar kehilangan dengung dan (3) wanita hilang rasa malunya).
Melalui catatan sederhana ini, saya memberanikan diri menafsir dan mengulas tembang sakti para leluhur nyata “terbaca” dan riil terjadi di era kini. Dan kami mohon maaf bila terdapat kesalahan arti, maksud, ataupun interpretasi, terutama jika ditemui kedangkalan makna dalam menafsirkan local wisdom leluhur yang penuh filosofis — hal itu semata-mata keterbatasan kemampuan penulis, bukan karena kedangkalan substansi suluk. Inilah ulasan sederhananya.
Kali Ilang Kedunge (Sungai Hilang Lubuknya)
Kedung atau istilah bahasa Indonesia disebut lubuk: “adalah bagian dalam dari satu aliran sungai”. Tentu dalam satu aliran sungai yang panjang, terdapat banyak lubuk. Pada satu kedung (lubuk), biasanya tergenang air dalam jumlah besar dan ada riak kehidupan, entah ikan atau satwa-satwa lain niscaya berkumpul termasuk tanaman, pepohonan, dll.
Kedung memang cenderung rindang, sejuk, nyaman dan lainnya bahkan para warga di sekitarnya mengambil banyak manfaat atas keberadaan kedung. Artinya selain air, ikan dll suasana nyaman, juga kerapkali ada jalinan silahturahmi dengan sesama tetangga.
Mungkin saat mereka mandi, mencuci pakaian dll — terlihat guyub — asri, rukun dan damai. Dan orang-orang dulu bahkan hingga kini, seringkali melakukan ritual tapa (itikaf) guna mendekat kepada-Nya memilih lokasi di sekitar kedung.
Tetapi itu dahulu. Mungkin sekarang akan sedikit kesulitan mencari kedung yang asri dan rindang. Jangankan di kota, di wilayah pedesaan pun jarang ditemui kendati pada masyarakat tertentu masih dipertahankan, namun fungsinya telah bergeser menjadi taman rekreasi atau pariwisata komersil, tempat pacaran, dll. Tidak seperti dulu, peran dan fungsinya sebagai wadah silahturahmi hampir-hampir musnah ditelan masa.
Kedung atau lubuk-lubuk banyak hilang. Alasan pokok (barangkali) pengembangan kota — jawabannya sederhana: hutan banyak ditebangi, sehingga air tidak lagi bisa diserap dan tak tertampung di dalam tanah. Tidak ada mata air tetapi air mata mengucur darah, karena air yang tak terserap oleh akar-akar menggelontor “marah” lalu menjadi bencana baik banjir maupun tanah longsor. Apakah ini yang terjadi kini?
Betapa perubahan dramatis alam bukanlah terjadi dalam ribuan tahun, atau abad, akan tetapi hanya hitungan dekade saja. Luar biasa! Kembali jawabannya sangat sederhana: itu akibat hasrat dan nafsu manusia yang terlembaga pada dogma kemajuan (fisik dan materi) atas nama pembangunan, modernisasi dll namun tanpa memperhatikan lingkungan.
Dalam kajian lebih dalam sedikit, secara non fisik — kali ilang kedunge — bisa digambar sebagai suatu tatanan sosial yang abai bahkan lupa akan “sumber”-nya(local wisdom) dan cenderung berkiblat pada nilai atau sistem asing yang belum sepenuhnya melembaga.
Istilahnya, bangsa transisi yang bebas nilai sehingga tidak punya identitas diri. Tak ada jati diri. Maka pantas saja, jika bangsa ini menjadi “obyek permainan” hegemoni para adidaya di era globalisasi.
Pasar Ilang Kumandhange (Pasar Hilang Dengungnya)
Membandingkan situasi pasar dulu dan kini, tampaknya suasana zaman dahulu lebih bergairah penuh dinamika. Sehingga suara orang-orang berkumpul, tawar-menawar, atau sekedar njagong, namun menimbulkan “dengung” (suara bergunam) mirip dengung sekawanan lebah dan terdengar sampai jarak relatif jauh. Akan tetapi kini dengungnya lenyap entah kemana, meski masih ditemui pada pasar tradisional di pojok-pojok kota.
Secara empirik, dengung tertutup aktivitas lain seperti deru kendaraan, mesin produksi dsb — hingga suara pasar pun melemah bahkan terbungkam. Ada hal lebih esensial.
Artinya jika dulu pasar sebagai pusat kehidupan dari pagi sampai siang, oleh karena orang-orang tak sekedar jual beli ini dan itu, tetapi juga hal-hal lainnya. Bertemu sahabat misalnya, atau janjian dengan calon istri, suami, dst. Artinya selain lokasi transaksi dan barter barang, ia juga tempat bertukar kabar. Sebagaimana halnya kedung atau lubuk, pasar pun tempat menjalin ikatan batin (silahturahmi) bagi warga. Itulah makna dengung.
Ketika modernisasi dengan dogma kepraktisan, efisiensi, sistematis dan efektivitas — menerjang masyarakat. Inilah benih-benih “putusnya” silahturahmi warga. Ia seperti pembunuh berdarah dingin “membantai” ratusan bahkan ribuan pasar tradisional di negeri ini.
Supermarket, Mall, Hypermarket, ataupun kios-kios modern lain merupakan silent market (pasar tiada dengung) — tanpa dinamika, tidak ada gelak dan kegairahan. Barang dipajang dengan bandrol harga, tanpa tawar menawar apalagi tawa canda pengunjung. Dan di pasar modern, kecenderungan orang hanya sekedar refreshing daripada silaturrahim. Maka sangat jarang senyum, sapa dan salam – apalagi gelak gayeng bertukar khabar.
Inilah cermin dunia yang semakin mekanis. Gersang mengerang. Barang diatur secara sistematis termasuk penjaga-penjaga. Manusia hanya menjalankan sistem sedang pengunjung mengutamakan kepraktisan dan sedikit waktu refreshing bagi hidup yang dikendalikan rutinitas. Tidak ada lagi bargaining seimbang antara pembeli dan penjual. Mereka hanya sekedar alat dari sistem kapitalis global. Pasar era kini, telah menjadi “senyap” justru di tengah kehidupan yang kian gaduh.
Untuk makna lebih tinggi sedikit –pasar ilang kumandhange– bisa dianalogi terputusnya ikatan batin antar warga karena “wadah”-nya pecah tergerus mesin-mesin berkedok pembangunan, moderinsasi dan lainnya.
Dalam perspektif politis, diubahnya pola musyawarah mufakat menjadi demokrasi pilihan langsung (one man one vote) dimana rakyat cuma mengenal sosok si calon karena kuatnya (modal) pencitraan, akan tetapi masyarakat tidak mampu menelusuri visi, misi dan terutama ideologi yang dianut. Ibarat membeli kucing dalam karung, setelah dibuka justru macan yang keluar. Maka bisa habis negeri ini.
Mendalami sejenak tentang pencitraan yang sekarang telah menjadi industri politik di negeri ini, kata Baudrillard, hari ini kita hidup dalam era simulakra. Era dimana batas antara realitas dan citra telah melebur.
Bahkan citra telah berubah menjadi realitas itu sendiri. Ia menyebutnya hyper-reality atau realitas semu. Pilihan-pilihan hidup kita sangat dipengaruhi oleh realitas semu ini, yang kata Milan Kundera, diciptakan oleh agen-agen periklanan, manajer kampanye politik, dan lain-lain.
Jagonya pencitraan menurut saya justru Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler. Ia mengatakan: “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya.” Tentang kebohongan ini, Goebbels juga mengajarkan bahwa kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja!
Wong Wadon Ilang Wirange (Wanita Hilang Rasa Malunya)
Jika Prabu Jayabaya, Raggawarsita atau Sunan Kalijaga diizinkan reinkarnasi (mungkin) beliau akan “menangis” melihat perilaku sehari-hari rakyat negerinya. Suluknya ternyata nyata, ramalannya tepat semua. Di sana-sini banyak wanita hilang rasa malunya, tetapi uniqnya justru menjadi trend dan gaya hidup.
Lihat saja! Dalam dinamika sosial, justru yang nge-trend adalah “tinggi-tinggian”. Apa saja. Entah tinggi-tinggian ilmu, gedung, kekayaan, pangkat, tinggi-tinggian gelar sosial, akademis, dll. Yang akan dibahas terkait suluk di atas adalah tinggi-tinggian “celana”.
Secara fungsi, celana itu sarana untuk menutupi aurat. Jika dikenakan kaum hawa disebut rok. Atau boleh juga disebut jilbab. Apa yang bakal terjadi jika aurat yang wajib ditutup rapat, justru ditinggi-tinggikan, dijadikan tontonan layaknya (obral) barang dagangan?
Ketika aib rumah tangga yang harusnya disembunyikan justru menjadi konsumsi publik, dijadikan program acara yang “menarik” di media elektronik. Pada gilirannya masalah kawin cerai, perselingkuhan dll di kalangan tertentu dianggap gaya hidup lalu ditiru banyak orang. Ketika (lari) kembali ke ulama agama (mungkin) hanya pura-pura.
Bunyi wirid yang afdol bagi mereka adalah Masya Allah – Masya Allah,sambil Pak Kyai “bingung” geleng-geleng kepala mengintip aurat santri-santrinya. Mungkin maknanya, bahwa umat (Indonesia) telah tergoncang, apa karena tak adanya suri tauladan pemimpinnya? — Iman manusia mulai bergoyang. Adakah Zaman Kolobendu memang sudah tiba?
Silahkan saudara-saudara mencermatinya!
10 TOPIK MENARIK LAINNYA
sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin