AJAIBNYA.COM – Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” menolak anggapan bahwa pihak yang telah menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V (Kertabhumi) adalah Demak. Tetapi, menurut Prof. Krom serangan yang dianggap menewaskan Prabu Brawijaya V tersebut dilakukan oleh Prabu Girindrawardhana.
Demikian juga Prof. Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” menjelaskan bahwa raja Kertabhumi atau Brawijaya V tewas dalam keraton yang diserang oleh Prabu Rana Wijaya dari Keling atau Kediri. Prabu Rana Wijaya yang dimaksud adalah nama lain dari Prabu Girindrawardhana.
Teori penyerangan Prabu Girindrawardhana terhadap Majapahit ini ditolak oleh Prof. Dr. Slamet Muljana. Menurut Muljana, nama Girindrawardhana ditemukan pada prasasti Jiyu 1408 tahun Saka atau 1486 M, delapan tahun setelah tahun yang dianggap sebagai masa keruntuhan Majapahit akibat serangan Demak.
Muljana lantas menghubungkannya dengan kronik Cina yang berasal dari kuil Sam Po Kong di Semarang. Muljana menyatakan bahwa seorang menantu Kertabhumi menjadi bawahan Demak dan harus membayar upeti. Tarikh tahun yang digunakan adalah 1488.
Tokoh yang dimaksud dalam kronik Tionghoa disebutkan dengan nama Pa Bu Ta La. Slamet Muljana berspekulasi bahwa Pa Bu Ta La yang dimaksud adalah Girindrawardhana, sebab menurutnya kata “Ta La” adalah transkripsi dari dra sebagai unsur nama Girindrawardhana.
Dari analisa ini maka ditarik kesimpulan bahwa Girindrawardhana tidak mungkin menyerang kepada Majapahit sebab justru Girindrawardhana justru tunduk kepada Demak. Menurut Muljana, Demaklah yang menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V.
Bagaimana pun analisa Prof. Dr. Slamet Muljana tersebut membingungkan dan terlalu spekulatif. Seolah hal tersebut tidak membuka kemungkinan lain terhadap pemaknaan sejarah. Pertama, Muljana, menggunakan angka tahun 1486 sebagai tahun yang dianggap sebagai keberadaan Girindrawardhana pasca runtuhnya Majapahit.
Padahal tahun 1468 M tersebut lebih merupakan tahun dari prasasti Jiyu, bukannya manifestasi keberadaan Girindrawardhana. Sudah tentu penulisan tentang Girindrawardhana bisa saja ditulis pada masa-masa selanjutnya. Kedua, menghubungkan antara kata “Ta La” dengan dra sebagai unsur nama Girindrawardhana adalah bentuk spekulasi yang berlebihan.
Metode otak-atik gathuk seperti ini rasanya terlalu riskan digunakan sebagai cara pemaknaan terhadap sejarah. Justru dengan membuka diri terhadap kemungkinan lain maka akan ditemukan jawaban yang lebih rasional. Misalnya dengan menghubungkan nama “ Pa Bu Ta La ” dengan Prabu Udara (Brawijaya VII) maka justru menghasilkan analisa yang lebih baik.
Coba perhatikan bahwa kata “Ta La” lebih sesuai dengan kata “dara” sebagai unsur nama “Prabu Udara”. Demikian juga kata “Pa Bu” adalah unsur yang mewakili kata Prabu. Cara kedua ini diakui juga bersifat spekulatif, namun jelas lebih rasional dibandingkan cara yang sebelumnya.
Lantas siapakah Prabu Udara yang dimaksud? Pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M, Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Girindrawardhana atau Brawijaya VI. Raden Patah mencoba menuntut haknya atas tahta Majapahit.
Namun upaya tersebut nampaknya kurang berhasil. Justru kemudian Girindrawardhana terbunuh oleh patihnya sendiri yang bernama Patih Udara. Patih Udara sendiri kemudian menggantikan Girindrawardhana menjadi raja Majapahit dengan nama Prabu Udara atau Brawijaya VII.
Dengan demikian serangan Demak atas Majapahit bukan terjadi pada masa Prabu Kertabhumi atau Brawijaya V, ayah Raden Patah. Namun terjadi pada masa Prabu Brawijaya VI atau Girindrawardhana dan Brawijaya VII atau Prabu Udara.
Pasca perebutan kekuasaan di Majapahit antara Patih Udara dan Girindrawardhana dengan hasil akhir kemenangan atas Patih Udara tersebut. Patih Udara yang kemudian menggunakan gelar Prabu Udara atau Brawijaya VII tersebut justru merasa was-was terancam kekuasaannya disebabkan Kesultanan Demak yang semakin menguat.
Beberapa catatan menyebutkan bahwa Raden Patah sendiri membiarkan saja Majapahit berdiri di bawah pimpinan Prabu Udara. Catatan lain menyebutkan bahwa Prabu Udara telah tunduk kepada Kesultanan Demak. Namun yang terjadi kemudian, kekhawatiran Prabu Udara akan kehilangan kekuasaan telah memuncak dan kemudian meminta bantuan kepada Portugis di Malaka.
Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara atau Brawijaya VII mengirim utusan kepada Alfonso d’Albuquerque dengan membawa hadiah berupa 20 buah genta, sepotong kain panjang tenunan Kambayat, 13 buah lembing, dan sebagainya. Melihat gelagat yang kurang baik inilah maka kemudian tentara Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Adipati Yunus (Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor) menyerang Portugis di Malaka dan sekaligus Majapahit di bawah kepemimpinan Prabu Udara untuk membubarkan persepakatan gelap yang terjadi.
Seandainya saja Majapahit tidak diserang pada masa Prabu Udara tersebut maka dapat dipastikan bahwa Portugis akan menjajah tanah Jawa lebih cepat dari masa agresi Belanda.
Terlebih lagi, Prof. Dr. Slamet Muljana menyebutkan bahwa penyerangan Demak atas Prabu Girindrawardhana di Majapahit terjadi pada tahun 1517 M. Hal ini semakin menunjukkan bahwa analisa yang digunakan oleh Muljana adalah lemah. Sebab masa pemerintahan Prabu Girindrawardhana hanya berlangsung antara tahun 1478 sampai 1489 M.
Tahun 1489 M tersebut merupakan tahun terbunuhnya Girindrawarhana oleh Patih Udara yang kemudian menggantikannya sebagai raja Majapahit dengan gelar Prabu Udara. Dengan demikian serangan Demak atas Girindrawardhana di Majapahit, sebagaimana dikemukakan oleh Slamet Muljana, dapat dipastikan hanya merupakan kesalahan analisa semata. Sebab pada tahun 1517 tersebut Girindrawardhana telah mati jauh-jauh hari sebelumnya.
Ada pun yang lebih masuk akal adalah serangan Demak itu terjadi pada masa Pemerintahan Prabu Udara yang berkuasa antara tahun 1489 sampai 1518.[26] Motifnya, jelas upaya untuk mempertahankan kehormatan Islam dan mengambil kembali tahta Majapahit yang merupakan hak sepenuhnya dari sultan Demak.
Hal ini juga menguatkan bahwa Pa Bu Ta La dalam kronik Tionghoa di kuil Sam Po Kong bukanlah transkripsi dari nama Girindrawardhana melainkan lebih sesuai sebagai nama dari Prabu Udara atau Brawijaya VII. Oleh karena itu analisa Samet Muljana sebagai penyebab keruntuhan Majapahit pada masa Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) adalah tidak terbukti.
Dengan demikian, jika sejarah menulis bahwa penyebab keruntuhan Majapahit adalah karena serangan dari Demak dan tanpa dierangkan lebih lanjut tentang faktor-faktor penyebabnya yang melatarbelakanginya maka hal ini jelas merupakan paparan yang tidak netral dan berusaha menyembunyikan fakta yang urgen. Dengan kata lain jelas memiliki sejumlah motif dan kepentingan tertentu.
Awalnya, informasi bahwa keruntuhan Majapahit disebabkan oleh serangan Demak, dapat ditelusur, hanya merupakan akibat kesalahpahaman semata. De Graf, mencatat bahwa nama Girindrawardhana yang menyerang Majapahit dan merebut kekuasaan Prabu Brawijaya V, seringkali disalah pahami merupakan sosok yang sama dengan tokoh Sunan Giri, seorang ulama muslim anggota Walisanga.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Yamin, seorang tokoh Indonesia yang dikenal sebagai Majapahit-sentris. Muhammad Yamin menyatakan bahwa nama “Giri” dalam beberapa babad yang menceritakan tentang keruntuhan Majapahit merupakan nama seorang penganut Hindhu, yang tidak lain adalah Girindrawardhana.
Pengarang babad, dalam pernyataan Mohammad Yamin, umumnya telah mencampuradukkan antara nama Girindrawardhana dan Sunan Giri. Padahal kedua nama tersebut adalah tokoh yang berbeda. Dari sinilah maka kesalahpahaman tersebut berlanjut, bahwa Majapahit runtuh akibat serangan Demak.
Bahkan terkesan bahwa ada upaya untuk memelihara kesalahpahaman tersebut tanpa memberikan koreksi terhadap pelajaran Sejarah di Indonesia terutama di tingkat Sekolah Menengah ke bawah. Hal ini jelas merupakan indikasi kuat bahwa sebuah kepentingan sedang bermain untuk pencitraan negatif terhadap Islam.
PENUTUP
Dengan demikian dapat diketahui bahwa awalnya, cerita tentang penyerangan yang dilakukan oleh Demak terhadap Majapahit, awalnya terjadi karena kesalahan pandangan dari para penulis cerita babad. Kesalahan ini terjadi akibat menganggap sama dua tokoh yang sebetulnya berbeda, yaitu Girindrawardhana dan Sunan Giri.
Tidak jarang, sejarawan memanfaatkan cerita babad ini sebagai bahan pendukung analisa sejarah. Terkait bahwa cerita dari babad tidak memiliki akurasi yang tinggi dalam penggambaran sejarah, telah banyak diketahui. Oleh karena itu usaha memelihara “sejarah” dari hasil pandangan yang kurang benar, jelas merupakan upaya yang sarat kepentingan untuk mendiskreditkan Islam.
10 TOPIK MENARIK LAINNYA
sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin