AJAIBNYA.COM – Pusaka Prabu Kian Santang menjadi salah satu topik diskusi sejarah yang tidak pernah ada ujungnya. Selayaknya sejarah sebagai sebuah pembahasan subjektif, mencari kebenaran akan keberadaan pusaka Prabu Kian Santang juga demikian, selalu berakhir dengan asumsi penuh ketidakpastian.
Kian Santang adalah putera dari Prabu Siliwangi, raja Padjajaran yang terkenal dengan pusaka Kujang Kembarnya. Kian Santang adalah anak bungsu dari Nyi Subang Larang atau Nyai Hajjah Syarifah Mudhaim, istri kedua Prabu Siliwangi. Ia dilahirkan sekitar tahun 1428 M.
Nyai Subang Larang berasal dari keluarga Muslim yang taat. Ayahnya seorang petugas syah bandar di Karawang, bernama Kiai Tapa. Sejak kecil Nyai Subang Larang nyantri di Pesantren Quro milik Syeh Hasanuddin. Anak-anaknya kemudian menjadi muslim yang taat, termasuk Kian Santang.
KIAN SANTANG MEMBUNUH PRABU SILIWANGI
Pada beberapa cerita rakyat diketahui bahwa Kian Santanglah yang telah membunuh Prabu Siliwangi, ayahnya sendiri. Pasalnya, Prabu Siliwangi sangat teguh untuk tidak memeluk agama Islam yang disyiarkan oleh Kian Santang anaknya. Prabu Siliwangi terpaksa harus masuk-keluar hutan untuk menghindari Kian Santang yang mengajaknya masuk Islam.
Dikisahkan, dalam proses pengejaran itu masing-masing —Prabu Siliwangi dan Kian Santang– menggunakan ilmu ”nurus bumi” yaitu berlari di bawah tanah.
Mereka berkejar-kejaran hingga sampai di sebuah hutan di daerah Garut yang bernama hutan Sancang, tempat dimana mereka bertemu dan bertarung mengadu kesaktian. Ayah dan anak beradu kuat saling mengalahkan, berdiri di atas keyakinannya masing-masing.
Meskipun agak diragukan, pada kisah lain bahkan sampai disebutkan bahwa kalau itu, –”beungeut Rakeyan Santang diciduhan ku Ramana” yang artinya, wajah Rakeyan Santang (Kian Sntang) telah diludahi oleh ayahnya, Prabu Siliwangi.
Prabu Siliwangi kalah dalam pertarungan tersebut, tapi kekalahan tersebut tidak lantas membuatnya masuk Islam. Beliau pun berkata pada Kian Santang, “Coba kau pegang ujung kayu kaboa di sebelahmu anakku, dan aku akan pegang ujung yang satunya.”
Dalam tradisi budaya Sunda, saling memegang ujung ranting kayu kaboa sudah merupakan simbol bahwa dua ujung itu tak akan pernah bertemu.
“Aku memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memilih agama. Yang aku cemaskan adalah keserakahan orang. Setelah memilih yang satu, lantas ganti lagi memilih yang baru, begitu seterusnya. Sementara bagi seorang raja, keyakinan itu sebuah kehormatan dan tak bisa sesepele itu digonta-ganti seperti orang membalikkan telapak tangan,” demikian jawaban Prabu Siliwangi sebagai penolakan akan ajakan putranya untuk berganti agama.
PERTEMUAN KAIN SANTANG DENGAN SAYYIDINA ALI R.A.
Dalam sejarah Godog diceritakan bahwa Kian Santang muda kala itu adalah seorang yang sangat sakti, sampai-sampai dia tidak pernah melihat darahnya sendiri. Setiap pertarungan selalu dimenanginya dengan mudah tanpa terluka apa-apa.
Jiwa muda Kian Santang yang bergelora membawa beliau berkelana mencari orang yang sanggup mengalahkannya. Hingga pada suatu saat beliau mendengar bahwa di daerah Arab ada seorang yang sangat sakti mandra guna.
Dengan ilmu ”napak sancang” (dapat berjalan di atas air) yang dimilikinya, Kian Santang akhirnya sampai di tanah Arab dan bertemu dengan orang tua di pinggir pantai. Singkat cerita mereka bertemu dan berkenalan lalu orang tua tersebut mengajak Kian Santang ke rumahnya.
Orang tua tersebut berjanji akan mempertemukan Kian Santang dengan orang sakti yang dicarinya. Tetapi dalam perjalanan ke rumah, tongkat orang tua tersebut tertancap di pasir. Orang tua tersebut lalu meminta bantuan Kian Santang untuk mencabutnya.
Nah, pada saat inilah keajaiban terjadi. Meskipun seluruh ilmu kedigjayaan yang Kian Santang miliki digunakan untuk mencabut tongkat tersebut, tetap saja tongkat itu tidak dapat tercabut dari pasir, hingga akhirnya keluar darah dari pori-pori tangan Kian Santang.
Kian Santang baru menyadari bahwa orang tua yang bertemu dengannya adalah orang yang dicarinya. Orang tua tersebut adalah Syaidina Ali bin Abu Thalib ra.
Akhirnya Kian Santang pun insyaf atas kesombongannya dan mulai memeluk agama Islam. Dalam sejarahnya kemudian, Kian Santang juga dikenal bernama Ki Samadullah atau Abdullah Iman, nama yang menandakannya sebagai seorang muslim.
SENJATA PUSAKA PRABU KIAN SANTANG
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikutnya yang beragama Islam.
Sebagaimana lazimnya raja-raja di tanah Sunda kala itu, Prabu Kian Santang melengkapi dirinya dengan senjata pusaka bernama Kujang, serupa dengan yang dimiliki oleh ayahnya Prabu Siliwangi.
Ada juga beberapa kisah yang menyebutkan bahwa nama senjata pusaka Prabu Kian Santang adalah Kujang Dzulfiqar, sebuah senjata yang serupa dengan yang diwariskan oleh Rasulullah SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a.
Perjalanan panjang hidup Prabu Kian Santang yang berkelana antara wilayah tatar Sunda dan Cirebon, menjadikan makam beliau bisa kita jumpai pada berbagai tempat.
Makan Kian Snatang dapat kita jumpai di komplek pemakamam Gunung Jati – Cirebon, di daerah Godog – Garut – Jawa Barat, di daerah hutan Sancang – Garut – Jawa Barat, dan di beberapa tempat lainnya.
Hingga kini di mana makam asli Kian Santang tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Akan tetapi jika kita mengikuti perjalanan sejarah, makam yang berada di komplek pemakaman kesultanan Cirebon yang ada di wilayah Gunung Jatilah, yang lebih mendekati kebenaran.
Sedangkan makam Kian Santang yang berada di tempat lain hanya merupakan suatu simbol yang dibuat oleh masyarakat di wilayah tersebut untuk menunjukan bahwa beliau pernah ke wilayah tersebut. Dalam bahasa Sunda dikenal sebagai patilasan., hal yang kerap kita temui pada makam-makam seorang wali atau nabi Allah.
10 TOPIK MENARIK LAINNYA
sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin