AJAIBNYA.COM – Legenda tanah Jawa memang tidak pernah usai diperbincangkan. Yang namanya legenda memang memuat banyak kontroversi tentang kebenarannya. Kita, sebagai generasi lanjutan, hanya bisa memetik hikmah positif yang ada dalam setiap legenda dan sejarah yang sangat subjektif tersebut.
Konon, nama pulau atau tanah Jawa dahulu kala adalah Sweta Dwipa, sedangkan anak benua di India disebut Jambu Dwipa. Seluruh gugusan kepulauan di wilayah Asia Selatan dan Tenggara dinamakan anak benua atau gugusan pulau-pulau Jawata.
Karena Jambu Dwipa dan Sweta Dwipa berasal dari daerah yang sama, maka tidak heran kalau budayanya banyak yang menyerupai atau dalam perkembangannya terbukti saling mempengaruhi.
Jika ditinjau dari perkembangan geografisnya, pada sekitar 20 hingga 36 juta tahun lalu, di Asia bagian selatan terjadi proses bergeraknya anak benua India ke utara. Hal ini mengakibatkan terjadinya tabrakan dengan lempengan yang di utara. Akibatnya, ada gundukan tanah yang mencuat ke atas, yang kini dikenal sebagai gunung Himalaya.
Pada saat itu dataran Cina masih terendam lautan. Anak benua yang di selatan dan tenggara, yaitu Jawata, termasuk Sweta Dwipa dan Jawa Dwipa muncul sebagai pulau-pulau mata rantai gunung berapi.
Keturunan Para Dewa
Dalam kisah-kisah kuno banyak diceritakan bahwa orang Jawa itu sebenarnya anak keturunan atau berasal dari dewa. Dalam bahasa Jawa orang Jawa disebut Wong Jawa, dalam bahasa ngoko-sehari-hari, artinya : wong itu dari kata wahong Jawa, artinya orang Jawa itu adalah anak keturunannya dewa. Begitu pula Tiyang Jawa itu dari Ti Hyang Jawa artinya juga sama, yaitu anak keturunan dewa, dalam bahasa krama inggil –halus.
Jawata artinya adalah dewa, gurunya orang Jawa. Menurut pedalangan wayang kulit, keindahan pulau Jawa pad amasa itu telah menarik perhatian dewa-dewi dari kahyangan, sehingga mereka turun ke marcapada, tanah Jawa dan membangun kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Dwipa.
Raja Kediri, Jayabaya adalah Dewa Wisnu yang turun dari kahyangannya. Jayabaya amat populer di Jawa dan Indonesia karena ramalannya yang akurat mengenai sejarah perjalanan negeri ini dan berisi nasihat-nasihat bijak bagi mereka yang memegang tampuk pimpinan negara, bukan saja untuk para priyayi atau pejabat negara, melainkan juga untuk para kawula biasa. Ramalan itu dikenal dengan nama Ramalan Jayabaya (Joyoboyo).
Kerajaan Dewa Pertama
Jawa Dwipa, menurut sebuah sumber, adalah kerajaan dewa pertama di pulau Jawa. Letaknya di gunung Gede, Merak, dengan rajanya Dewo Eso atau Dewowarman yang bergelar Wisnudewo, sang dewa kahyangan, permaisurinya bernama Dewi Pratiwi, nama dari Dewi Bumi. Dia adalah putri dari seorang begawan Jawa yang terkenal yaitu Begawan Lembu Suro.
Begawan Lembu Suro dikenal memiliki ilmu dan tingkatan spiritual yang sangat tinggi. Dia mampu hidup di tujuh dimensi alam (Garbo Pitu), dan tinggal di Dieng (letak geografis di Jawa Tengah). Kata Dieng berasal dari Adhi Hyang artinya suksma yang sempurna.
Perkawinan Wisnudewo dengan Dewi Pratiwi melambangkan turunnya dewa yang berupa sukma untuk menetap di bumi Jawa Dwipa. Keberadaannya di bumi aman dan bisa berkembang karena didukung oleh daya kekuatan bumi yang digambarkan sebagai Begawan Lembu Suro.
Betara Guru atau Batara Guru
Kecantikan Pulau Jawa Dwipa bahkan akhirnya menarik hati Rajanya para dewa yaitu Betara Guru (Batara Guru) untuk mendirikan kerajaan di bumi. Turunlah dia dari Swargaloka dan memilih tinggal di gunung Mahendra (kini disebut Gunung Lawu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur antara Surakarta dan Madiun).
Gunung Lawu yang sellau tertutup awan
Betara Guru memiliki sejumlah nama lain, seperti Sang Hyang Jagat Nata, ratunya Jagat Raya – The king of the Universe dan Sang Hyang Girinata, ratunya gunung-gunung, – The King of Mountains. Di Kerajaan Mahendra, Sorga yang agung – The great Heaven , Betara Guru memakai nama Ratu Mahadewa. Karaton kerajaan Mahendra dibangun mirip seperti karaton Batara Guru di Kahyangan.
Piranti-piranti sorga juga dibuat, antara lain:
Gamelan, seperangkat alat musik untuk hiburan para dewa dengan menikmati alunan suaranya yang merdu dan saat sedang menari (olah beksa). Pada masa itu, menari bukanlah sekedar mengayunkan raga mengikuti ritme musik tetapi merupakan latihan untuk konsentrasi dan selanjutnya kontemplasi untuk mengenal jati diri dan menemui Sang Pencipta (seperti Yoga dalam arti yang sebenarnya) . Nama gamelan itu adalah Lokananta.
Patung-patung penjaga istana yaitu Cingkarabala dan Balaupata, yang diletakkan di sebelah kanan dan kiri pintu gerbang istana. Artinya istana dijaga kuat sehingga aman.
Pusaka berupa keris, cakra, tombak, panah dan sebagainya dibuat oleh empu terkenal yaitu Empu Ramadhi.
Kembali ke Kahyangan
Setelah para dewa bisa tenang tinggal di bumi Jawa Dwipa, menikah dengan puteri pribumi dan memiliki sejumlah anak keturunan, Betara Guru kembali ke Kahyangan. Beberapa putranya ditunjuk untuk meneruskan memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah berdiri. Selain di Jawa juga ada di Sumatra dan Bali.
- Di pulau Sumatra: Sang Hyang Sambo bergelar Sri Maharaja Maldewa, di kerajaan Medang Prawa, di gunung Rajabasa (dekat Ceylon sekarang ada negeri Maldives)
- Di pulau Bali: Sang Hyang Bayu yang bergelar Sri Maharaja Bimo, di Gunung Karang, kerajaannya Medang Gora (pulau Bali juga terkenal sebagai Pulau Dewata)
- Di pulau Jawa: Sang Hyang Brahma bergelar Sri Maharaja Sunda, di gunung Mahera, Anyer, Jawa Barat. Kerajaannya bernama Medang Gili (asal mulanya penduduk yang tinggal di Jawa bagian barat disebut orang Sunda), juga ada Sang Hyang Wisnu bergelar Sri Maharaja Suman, tinggal di gunung Gora, Gunung Slamet, Jawa Tengah. Kerajaannya bernama Medang Puro. Selain itu ada Sang Hyang Indra, bergelar Sri Maharaja Sakra, bermukim di gunung Mahameru, Semeru, Jawa Timur. Kerajaannya bernama Medang Gana.
Demikianlah sedikit legenda tanah Jawa Dwipa yang bisa kami sampaikan di sini. Semoga bermanfaat.
10 TOPIK MENARIK LAINNYA
sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin