Apa sebab Indonesia bisa dijajah cukup lama oleh kolonialisme? Banyak orang yang bilang, Indonesia kala itu kalah unggul di bidang teknologi, khususnya teknologi kemiliteran. Juga, kolonalisme menguasai pengetahuan modern kala itu.
Tetapi penjelasan itu belum memadai. Belanda hanyalah negeri kecil di Eropa sana; ukurannya hanyalah seperempat pulau Jawa. Sedangkan luas Indonesia hampir sebanding dengan tujuh Negara Eropa sekaligus bila disatukan: Britania Raya, Perancis, Jerman Barat, Belgia, Belanda, Spanyol, dan Italia.
Akhirnya muncul penjelasan lain. Bung Hatta, salah satu bapak pendiri bangsa kita, mengatakan, kekuasaan kolonial bisa bertahan di Indonesia karena ditopang oleh faktor-faktor kekuatan psikologis. Mungkin ini mirip dengan konsep Gramsci, pemikir Marxist Italia yang terkenal itu, tentang “hegemoni”.
Adapun faktor-faktor itu, kata Bung Hatta, meliputi: pertama, politik memecah-belah dan menguasai; kedua, membiarkan massa menjadi dungu alias terbelenggu dalam ketidaktahuan; ketiga, injeksi psikologis berupa gagasan keunggulan bangsa kulit putih dan kedudukannya yang tak tergoyahkan; keempat, politik asosiasi alias kolaborasi.
Kata Bung Hatta, jika hendak meruntuhkan hegemoni kolonialisme, maka empat faktor itu harus hilangkan satu per satu. Dalam pidato pembelaannya di hadapan pengadilan kolonial di Belanda, tahun 1928, Bung Hatta mengungkapkan empat strategi dalam menghapi faktor-faktor psikologis pembentuk kekuasaan kolonial itu.
Yang pertama, Bung Hatta menganjurkan kaum pergerakan berjuang melawan politik pecah-belah kolonial (divide et impera). Senjatanya, kata Bung Hatta, adalah mempropagandakan persatuan dan solidaritas Indonesia.
Perhimpunan Indonesia (PI), organisasinya Bung Hatta semasa masih mahasiswa di negeri Belanda, sangat getol mempropagandakan arti perting persatuan dalam perjuangan meraih kemerdekaan.
Banyak aktivis PI, ketika mereka sudah kembali ke tanah air, menjadi tenaga-tenaga penting dalam mengorganisasikan persatuan. Di Bandung, pada tahun 1926, berkat sokongan aktivis PI, berdiri front persatuan bernama “Komite Persatuan”. Front ini menghimpun 14 partai politik besar dan kecil.
Di Indonesia berdiri pula organisasi yang disebut Indonesia Muda (IM). Organisasi ini sangat getol mempropagandakan persatuan, khususnya di kalangan pemuda. Bung Hatta banyak mengapresiasi organisasi ini.
Lalu, ada orang yang bertanya, “bisakah bangsa Indonesia yang tersusun dari berbagai suku bangsa, bahasa, adat-istiadat itu menempa persatuan?” Bung Hatta menjawab, “sejarah telah memberikan banyak contoh bahwa ketunggalan bangsa tidak ditentukan oleh apakah ia seketurunan, seagama, satu kepercayaan, atau satu bahasa, melainkan karena ia percaya bahwa ia bisa bersatu atau punya kehendak bersatu.
Kedua, memerangi usaha atau tindakan yang membiarkan massa-rakyat Indonesia tetap dungu atau terbelenggu kebodohan. Untuk itu, Bung Hatta menganjurkan pentingnya pendidikan massa sebagai senjata melawan belenggu pembodohan ini.
Kolonialisme berkepentingan untuk membuat rakyat Indonesia tetap bodoh. Sebab, itulah syarat yang mereka perlukan agar kekuasaan mereka tidak tergugat. Ketidaktahuan juga merupakan perangkap untuk mencegah lahirnya fikiran kritis dan jiwa-jiwa pemberontak.
Sekolah-sekolah rakyat harus didirikan. Selain untuk mendidik ilmu pengetahuan, sekolah-sekolah ini juga harus menyadarkan rakyat Indonesia bahwa tujuan hidup mereka adalah kemerdekaan. Dengan demikian, sekolah-sekolah itu juga akan melahirkan pejuang-pejuang kemerdekaan.
Bung Hatta menganjurkan gerakan pemberantasan buta-huruf, seperti yang diselenggarakan oleh pergerakan nasional Philipina. Ia mengusulkan pendirian “Sekolah-Sekolah Tinggi Rakyat”, yang akan menyelenggarakan pendidikan massa yang popular, dengan mengajarkan sejarah, politik, dan lain-lain. Tentu, isinya adalah teori-teori kritis alias teori-teori revolusioner.
Bung Hatta juga menganjurkan perlunya pendidikan politik bagi rakyat. Dengan begitu, katanya, rakyat akan memahami hak politiknya. Pendidikan politik ini akan menjadi medium pembelajaran rakyat untuk memahami relasi kebijakan politik dan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat.
Ketiga, memerangi injeksi psikologis bahwa ras kulit putih lebih unggul dan kedudukannya tak dapat diganggu-gugat. Kita tahu, kaum kolonialis selalu mempropagandakan superioriastanya kepada kaum pribumi.
Misalkan, kaum pribumi dianggap tidak punya kemampuan memimpin dan tidak cakap untuk mengambil inisatif. Karena itu, kaum pribumi seakan sudah ditakdirkan untuk sejak kecilnya bekerja di bawah pimpinan bangsa Eropa.
Di Hindia-Belanda, jaman itu, ada orang semacam Notosoeroto, orang pribumi yang menjadi antek kolonial, aktif berpropaganda mengenai superioritas ras kulit putih ini melalui ceramah dan majalah.
Psikologis superioritas eropa ini, kata Bung Hatta, makin dipupuk dengan penciptaan system pemerintahan yang menempatkan orang eropa di atas orang pribumi. Atau, orang mengenalnya dengan system “Europees bestuur” (eropa) dan pangreh praja (pribumi). Dalam aturan kolonial, yang kedua (pangreh praja) harus tunduk pada yang pertama.
Untuk itu, menurut Bung Hatta, pergerakan nasional Indonesia harus memompakan kepada massa-rakyat semangat percaya diri dan harga diri. Dalam politik pergerakan kala itu, kita mengenal prinsip non-koperasi.
Lebih jauh lagi, Bung Hatta menjelaskan, pergerakan nasional juga perlu mendorong rakyat agar terlepas dari ketergantungan pada bangsa kulit putih. Ini dirumuskan secara sederhana sebagai gerakanself helpatau berdiri di atas kaki sendiri.
Bung Hatta mencontohkan gerakan self help Mahatma Gandhi di India. Di sana, Gandhi mengajak rakyat India memboikot semua produk Inggris. Sebaliknya, Gandhi mengajak rakyat India menggunakan hasil produksi bangsanya sendiri.
Gerakan self-help ini, kalau ditarik ke lapangan ekonomi, akan relevan dengan pembentukan koperasi-koperasi. Koperasi ini, kata Bung Hatta, cocok dengan karakter asli bangsa Indonesia: tolong-menolong dan gotong-royong.
Yang keempat, perjuangan menentang politik asosiasi. Politik asosiasi ini Nampak pada gagasan kolonial mengenai persekutuan kenegaraan antara Indonesia dan Nederland, yang didasarkan pada “kesamaan hak dan kewajiban”.
Tapi, bagi Bung Hatta, politik asosiasi ini hanyalah “rayuan gombal” kolonialis meredam pergerakan rakyat Indonesia. Terutama mencegah rakyat sampai pada kesadaran dan cita-cita kemerdekaan.
Bagi politik asosiasi, Indonesia yang Negara jajahan dan belanda yang penjajah itu tak ada pertentangan kepentingan. Sebaliknya, kedua bangsa ini punya kepentingan bersama. Entah apa yang dimaksud kepentingan bersama itu
Karena itu, tugas utama kaum pergerakan nasional adalah mengungkapkan seterang-terangnya adanya ‘pertentangan tak terdamaikan’ antara kaum penjajah dan rakyat yang terjajah. Bung Karno merumuskannya sebagai pertentangan antara “kaum sana” dan “kaum sini”.
Itulah empat strategi meruntuhkan hegemoni kolonialisme. Dalam beberapa hal, empat strategi ala Bung Hatta ini bisa memperkaya perjuangan anti-neokolonialisme saat ini. Semoga!
10 TOPIK MENARIK LAINNYA
sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin