Memahami Fenomena Columnar Joints di Gunung Padang

 

Memahami Fenomena Columnar Joints di Gunung Padang

Salah satu pokok pangkal kontroversi perdebatan Gunung Padang adalah tentang memahami fenomena columnar joints. Para juru pelihara (jupel) situs sangat akrab dengan istilah ini dan kerap dengan semangat menerangkan fenomena ini kepada para pengunjung, saking semangatnya sering keseleo lidah menyebutnya sebagai ‘COLORNA IJO” sehingga sekarang sering menjadi gurauan diantara mereka.

Fenomena columnar joints atau tubuh batuan yang mempunyai struktur berupa pilar-pilar/kolom-kolom batu tersusun rapih ini sudah lama dikenal dalam geologi. Struktur kolom ini terbentuk dari proses pendinginan tubuh lava (leleran cairan magma yang timbul di permukaan tanah) atau “sill”/”dykes” (terobosan cairan magma dari bawah) pada kondisi temperatur-tekanan-lingkungan yang sesuai.

Yang terpenting untuk dipahami di sini, arah memanjang dari kolom-kolom tersebut selalu tegak lurus dengan bidang “iso-thermal” yang pada umumnya sama dengan bidang permukaan atau lapisan dari lava/sill/dyke nya. Lapisan batuan yang mempunyai struktur kolom tersusun rapih secara reguler disebut sebagai “colonnade”. Namun karena kondisi tertentu di alam ada juga lapisan batuan yang arah struktur kolomnya cenderung irregular tidak satu arah.

Irregularitas bisa terjadi misalnya apabila lava panas masuk kedalam air/sungai sehingga perturbasi air menyebabkan permukaan pendinginan/bidang isothermalnya menjadi lebih kompleks. Lapisan dengan struktur kolom irregular atau tidak sempurna ini disebut sebagai “entablature”. Oleh karena itu harus dikenali apakah lapisan batu kolom yang kita lihat itu collonade atau entablature.

Selanjutnya deviasi arah kolom dapat terjadi pada collonade, yaitu pada bagian tepi/bawah/atas dari lava yang permukaannya melengkung sehingga arah-arah kolomnya berubah mengikuti bidang permukaanya. Arah-arah kolom juga dapat berbentuk seperti kipas (terlihat horisontal sampai vertikal) pada bagian transisi dari intrusi magma vertikal yang menerobos kepermukaan dengan aliran lavanya yang horisontal di atas permukaan. Tapi hukumnya sama, arah pertumbuhan kolom akan selalu mengikuti bidang permukaan dari tubuh batuannya, tidak acak.

Sekarang, bagaimana dengan batu-batu kolom di Gunung Padang? Tumpukan atau susunan batu-batu kolom yang membentuk teras-teras di atas bukitnya sudah jelas disusun manusia, tidak perlu pengetahuan geologi untuk mentafsirkannya. Teras-teras batu kolom yang disusun manusia itu tidak hanya di atas bukit, tapi juga terdapat di badan/lereng-nya. Walaupun demikian perlu observasi detil untuk membedakan mana hasil susunan manusia purba dan mana yang sudah disusun ulang oleh para petani di zaman modern.

BACA:  Absolutnya Theoritical science

Kemudian, dari penggalian sedalam ½ sampai 2 meter baik di atas teras ataupun di lerengnya ditemukan juga ada susunan batu-batu kolom yang tersusun sangat reguler-rapi yang sudah tertimbun oleh tanah. Ini yang menjadi masalah. Susunan batu kolom di bawah tanah ini sudah diketahui dari penelitian Balai Arkeologi (Balar) dan Arkenas sejak tahun 2003 dan 2005 dan dianggap sebagai lapisan batu kolom yang alamiah (=collonade).

Hal menarik, batu-batu kolom ini tidak berhimpitan dengan rapat seperti di alam tapi diantaranya diisi oleh lapisan material halus yang oleh Balar/Arkenas disebut sebagai kerak lempung (alamiah). Benarkah begitu?

Seharusnya tidak perlu ada kontroversial untuk sekedar membedakan apakah itu alamiah (=colonnade) atau “manmade”. Dari prinsip di atas, tinggal diteliti saja bagaimana hubungan antara arah kolom-kolom dengan kedudukan bidang lapisan/permukaannya.

Mudah bukan? Tidak sulit memang, tapi seorang ahli geologi harus melihat sendiri permukaan susunan batu-batu kolom tersebut di kotak gali (lubang eskavasi). Kemudian, kedudukan bidang lapisan/permukaan dapat terlihat dari penampang radargram (hasil survey georadar) atau/dan penampang geolistrik ( struktur lapisan batuan berdasarkan perbedaan sifat resistivitas listriknya).

Seorang ahli gunung api yang berpengalaman sekalipun apabila belum pernah melihat sendiri data bawah permukaan dari kotak gali (eskavasi) arkeologi atau/dan tidak punya data georadar dan/atau geolistrik akan menjadi tidak mudah untuk menginterpretasikan apa-apa. Paling hanya bisa mengira-ngira saja berdasarkan data geologi di permukaan dan bentang alamnya.

Dengan kata lain, sangat aneh apabila ada ahli geologi dan gunung api senior yang sesumbar bahwa mereka yakin benar di bawah tanah Gunung Padang pasti lapisan geologi alamiah sehingga menganjurkan agar penelitian tidak diteruskan, padahal mereka tidak pernah lihat kotak gali dan tidak melakukan survey bawah permukaan.

BACA:  Sejarah Letusan Maha Dahsyat Gunung Toba

Faktanya, susunan rapi batu-batu kolom yang tersingkap pada kotak gali di teras 1 (yang dieskavasi oleh Balai Arkeologi tahun 2005) dan pada kotak gali di lereng timur (dieskavasi tahun 2012 dan 2013 oleh Arkenas dan Dr, Ali Akbar-UI) mempunyai kedudukan persis sama berarah (sub) horisontal, barat-timur. Susunan batu-kolom yang sama sebenarnya terlihat diantara tumpukan serakan batubatu kolom pada dinding antara teras 1 dan 2.

Permukaan susunan batu-batu kolom tersebut jelas terlihat rata-horisontal ketika di kotak gali. Kemudian dari penampang georadar dan geolistrik bidang lapisannya jelas juga horisontal atau sejajar permukaan tanah. Artinya posisi susunan kolom-kolom batu terhadap bidang lapisan/permukaan Searah TIDAK TEGAK LURUS.

Dari data bor diketahui juga bahwa lapisan susunan batu-batu kolom tersebut berada di atas hamparan lapisan pasir kerikil dengan ketebalan beberapa puluh sentimeter pada kedalaman sekitar 4-5 meter di bawah situs. Di bawah lapisan pasir tersebut masih terdapat susunan batu kolom tapi dengan pola yang berbeda sampai kedalaman 15-16 meter, tidak disusun horisontal tapi kebanyakan miring, membentuk sudut terhadap bidang permukaan/lapisannya.

Diantara kolom-kolomnya juga terdapar material halus seperti yang di atasnya. Jadi jelas susunan batu-batu kolom di bawah tanah ini tidak dalam posisi alamiah alias bukan collonade tapi sudah hasil susunan manusia (manmade). “Loud an clear”!

Bagaimana dengan ‘kerak lempung’ diantara kolom-kolom batu tersebut? Ini fenomena menarik, tapi tidak perlu dikaitkan dengan masalah apakah susunan batu kolom ini alamiah atau manmade, karena hanya dari arah kolom dan kedudukan lapisannyas aja sudah cukup untuk mebedakannya. Kerak lempung itu batasnya tegas dengan permukaan segar batu-batu kolom, tidak terlihat ada transisi pelapukan.

Demikian juga tidak ditemukan ada indikasi pelapukan mekanis (=gejala pelapukan ‘mengulit bawang’ atau pengelupasan dari permukaan batu kolomnya lapis demi lapis akibat interaksi dengan udara dan air). Kemudian balutan kerak lempung itu terlihat teratur merata dan ditemukan terus dikotak gali sampai kedalaman 4 meter. Kerak lmpung ini malah terlihat menjadi lebih pejal dan tidak tembus air atau “impermeable”.

BACA:  Benarkah Nusantara Asal Peradaban Dunia?

Hasil lab memperlihatkan material ini bukan didominasi lempung tapi malah terdiri dari 45% mineral besidan 41% mineral silika, sisanya baru lempung dan sedikit unsur karbon. Komposisi yang aneh untuk material alamiah atau hasil pelapukan. Lebih aneh lagi, dari data bor, kita tahu bahwa ‘kerak lempung’ ini masih juga didapatkan di kedalaman sampai 15 meter! Itulah sebabnya kerak lempung ini lebih pas kalau disebut sebagai semen purba.

Harusnya tidak ada lagi perdebatan? Ternyata tidak juga. Dalam seminar-diskusi antara Tim Mandiri Terpadu dan Tim Petisi 34 di Kantor Kemendikbud yang dipimpin oleh Pak Dirjen. Saya diantaranya mempresentasikan apa-apa yang diuraikan di atas. Ketika itu hadir dan presentasi seorang Ahli Gunung Api senior tersebut di atas.

Setalah saya presentasi, tanpa di sangka-sangka Sang Ahli Gunung Api ini kelihatannya masih tetap teguh pada keyakinannya bahwa tidak bisa menyimpulkan lapisan susunan batu kolom ini sebagai tidak alamiah karena di alam arah-arah kolom bisa ‘macam-macam’ katanya, kemudian dia memberikan contoh dari tempat lain yang memperlihatkan singkapan susunan batu kolom yang posisinya horisontal teratur dan juga contoh singkapan batu kolom yang terlihat acak (= entablature).

Saya mulai agak tidak sabar karena merasa dengan semena-mena digurui. Kemudian saya nyeletuk ketika diperlihatkan singkapan batu-batu kolom yang posisinya horisontal tersebut, saya bilang yang itu pasti merupakan bagian dari intrusi batuan magma yang kedudukannya vertikal.

Tapi anenya dia malah menukas: “bagaimana anda bisa tahu”? Nah…lho, giliran saya yang kemudian menjawab setengah bingung: “tentu saja, karena keduduukan kolom-kolomnya kan horisontal”. Setelah itu saya jadi membatin sendiri, masa iya sih seorang ahli gunung api tidak tahu tentang prinsip dasar columnar joints alamiah ini? Atau barangkali dia hanya pura-pura tidak tahu? Atau mungkin juga karena sudah sangat lama tidak aktif melakukan penelitian sehingga lupa? entahlah.

 

10 TOPIK MENARIK LAINNYA

sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin

JANGAN LEWATKAN