Misteri Gunung Padang yang disebut-sebut sebagai gunung purba kini semakin senter pemberitaanya di media massa. Pemberitaan terakhir dari media online menyebutkan bahwa keberadaan Gunung Padang yang letaknya berada di Cianjur, Jawa Barat itu kini semakin misterius setelah ditemukannya sebuah batu tersusun pada bagian belakang bagian timur undak pertama gunung. Apabila susunan batu tersebut dipukul, maka akan terdengar suara nyaring berfrekuensi tinggi bagaikan nada-nada.
“Bebatuan tersebut seolah menjadi sebuah alat musik litofonik purba. Tapi berbeda dengan berbagai artefak litofonik warisan megalitik yang juga ditemukan di banyak negara di kawasan Asia Tenggara, ukuran dari artefak ini jauh lebih besar dimensinya,” ujar peneliti Bandung Fe Institute, Hokky Situngkir seperti yang dikutip blog Karo Cyber dari situs Detik.
Dengan menggunakan analisis fast fourier transform, Hokky dkk memetakan nada-nada yang dicurigai sampel frekuensinya ke tangga nada barat dan ditunjukkan pengerucutan pada empat nada yakni ‘f’-‘g’-‘d’-‘a’. Menurut dia, mayoritas batuan yang disampling tidak menghasilkan bunyi yang frekuensinya dapat diklaim sebagai ‘nada’ tertentu.
“Namun ada dua kelompok batuan yang menghasilkan nada dengan frekuensi relatif tinggi, dalam interval 2683Hz-5171Hz. Dua kelompok batuan ini terdapat di teras pertama dan teras kedua,” terangnya.
Tangga nada dalam pengelompokan batuan itu lazim digunakan dalam musikologi modern. Disampaikan Hokky, fakta ini menunjukkan bahwa sangat mungkin tradisi megalitik di situs Gunung Padang telah mengenal instrumen musik.
“Dari sisi urutan nada-nada yang diperoleh memang belum sempurna untuk dapat dikategorikan sebagai pentatonic scale ataupun heptatonic scale. Ada dugaan nada-nada yang hilang tersebut kemungkinan ada di batuan yang sebagian terpendam tanah di sekitar batuan yang menghasilkan frekuensi tinggi tersebut,” tuturnya.
Soal musik ini masih menjadi teka-teki, apakah batu yang jadi sumber bunyi itu merupakan artefak litofon yang telah ditemukan di banyak tradisi megalitik lainnya. Jika memang batuan ini dijadikan alat musik. Maka peradaban yang memangunnya telah mengenal pola orkestrasi atau permainan musik dengan berkelompok.
“Mengapa di situs tersebut perlu ada sumber bunyi?” ucap Hokky mempertanyakan.
Apalagi kawasan situs ini memiliki ketinggian 983-989 dia atas permukaan laut atau relatif jauh lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Hokky dkk menduga, bukan tidak mungkin bunyi-bunyian dari batu itu dijadikan sebagai pemberi aba-aba atau informasi di kawasan bawah situs dengan tipe punden berundak itu.
“Pertanyaan lebih lanjut, siapakah yang membangun situs megalitikum itu. Dan adakah manusia yang hidup di belahan barat Pulau Jawa kini memiliki keterkaitan dengan pembangunan situs megalitikum itu,” Hokky mempertanyakan.
10 TOPIK MENARIK LAINNYA
sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin