Situs Gunung Padang Mengajarkan Falsafah Kemanusiaan

 

Situs Gunung Padang Mengajarkan Falsafah Kemanusiaan

Situs  Megalitikum Gunung Padang menyiratkan perjalanan hidup manusia, tidak hanya badaniah tetapi juga rohaniah. Perjalanan lahir dan batin ini mengisyaratkan proses pencapaian manusia yang manusiawi. Falsafah kemanusiaan di tanah Sunda membedakan “jalma” (jelema) dengan “manusa”. Kata pertama bermakna semenjak lahir seseorang baru “menjelma” menjadi mahluk. Ia belumlah manusia seutuhnya. Dia masih harus menjalani pendidikan yakni pembentukan dan pengembangan diri lahir dan batin. Kata kedua menjelaskan kondisi manusiawi bagi seseorang. Kondisi manusiawi dalam kata “Manusa” dijelaskan dengan hakikat “Kamanusaan”. Hakikat ini berisi tiga keterarahan: “Kami” atau kepada Yang Maha Kuasa pemberi kehidupan, “Kama” kepada orangtua sebagai “sebab” keberadaan (cukang lantaran) dan “Nusa” atau kepada alam sebagai sesama mahluk dalam kehidupan. Ketiga keterarahan di atas menggambarkan secara kodrati manusia mampu mewujudkan “kasampurnaan”.

“Kasampurnaan” dalam konteks ini lebih berarti tugas untuk memelihara dan menata dirinya, sesama manusia, alamnya berdasarkan kekuasaan yang dititipkan kepadanya oleh Yang Maha Kuasa. Tugas itu diemban pula karena konstelasi kehidupan dalam semesta sudah dan selalumenyempurnakan manusia. Kasampurnaan memang mengandaikan kelebihan manusia dibandingkan mahluk lainnya. Kelebihan itu justru menjadi amanat dan mandat yang sewajarnya diwujudkan karena kodratnya. Amanat dan mandat ini diberi wujud keutamaan, sikap hidup, dan perilaku mulia .

Perjalanan Menemukan Diri Perjalanan kehidupan seperti ini tertuang dalam peziarahan di Gunung Padang. Perjalanan di Gunung Padang menyiratkan penemuan jatidiri dan mengalami “gumulung” dengan Yang Maha Kuasa dan Semesta. Perjalanan atau “nyucruk galur” tersebut digambarkan dalam wujud (tanggara), nama (ungkara) dan makna (uga) dari tiap-tiap batu di Gunung Padang. Batu menyatakan “Baca” dan “Tulis”. Manusia dianjurkan membaca semesta dan membaca dirinya sendiri. Muara dari “membaca alam dan diri” ialah menuliskannya dalam perilaku hidup sehari-hari. Berkaitan dengan proses penemuan diri tersebut berikut ini penjabaran tanggara, ungkara dan uga setiap batu. 1. Mata Air Cikahuripan Wujud (tanggara): mata air gunung. Nama (ungkara): Cikahuripan Uga (uga): Mata air gunung sering diibaratkan air susu ibu, cai nyusu. Air sebagai sumber dan asal kehidupan manusia (kondisi dalam rahim janin hidup dari dan dalam cairan.

BACA:  Mendikbud RI Kunjungi Situs Megalitikum Gunung Padang

Hampir seluruh tradisi di muka bumi ini meyakini manusia berada dalam kondisi yang bersih. Maksudnya, bersih dalam arti steril; dan secara metaforik berarti suci atau dalam istilah keagamaan tanpa dosa. Karena itu, manusia selayaknya senantiasa membersihkan diri dengan kembali ke air. Air tidak hanya membersihkan tubuh atau wadah. Tetapi juga air membersihkan isi atau pikiran dan rasa.

Dalam kondisi bersih itu manusia mengalami kehidupan untuk memulai perjalanan spiritualnya. Membersihkan diri dengan mata air Cikahuripan atau cai nyusu, bermakna bahwa kehidupan memiliki awal, manusia berasal dari air (sagara). Kesadaran akan awal membawa penyadaran akan tujuan kehidupan. Hidup mempunyai tujuan, dan karena tujuan itu lahirlah alasan untuk menghidupi hidup itu sendiri. 2. Lawang Saketeng Tanggara: Gapura dengan 9 anak tangga. Ungkara: Lawang Saketeng, atau uga: Gapura ini menyimbolkan penyadaran keberadaan Diri seseorang dan keterkaitannya dengan Semesta dan Yang Kuasa. Keterkaitan ini disadari melalui doa pembukaan di gapura. Rangkaian doa ini menunjukkan bahwa seseorang selalu berkaitan dengan para leluhur (karuhun, orangtua, kasepuhan), Semesta dan Yang Maha Kuasa. Keterkaitan itu disimbolkan dengan 9 anak tangga memasuki situs Nagara Padang. Angka 8 mewakili setiap penjuru mata angin yang, dan 1 ialah inti dari kehidupan yakni Yang Maha Kuasa. Doa pembukaan bertujuan juga untuk mendoakan orangtua dan para leluhur, dan memohon doa mereka untuk perjalanan dan penemuan hakikat diri (tekad). Seseorang mendoakan orangtua dan leluhur kepada Yang Kuasa agar amal bakti yang mereka lakukan sepanjang hidup menjadi keharuman bagi keturunannya. Keharuman bagi keturunan sekaligus juga mengharumkan nama Yang Kuasa. Orangtua dan leluhur (karuhun) dan semesta akan menjadi perantara yang menghantar seseorang untuk mengungkap jatidiri dan hakikat diri. 3. Palawangan Ibu Tanggara:

BACA:  Catatan Mengenai Situs Gunung Padang

Susunan bebatuan membentuk celah Ungkara: Batu Palawangan ibu Uga: Batu ini menjadi simbol untuk rahim ibu. Keberadaan manusia dan perjalanan hidupnya diawali dengan kelahiran. Kelahiran juga mengingatkan seseorang pada awal dan tujuan hidup. Dengan kelahiran lalu setiap orang memiliki tugas yang harus dikerjakan. Ini nanti berkaitan dengan upaya menemukan dan menjalani takdir. Batu ini pun menandai kelahiran baru bagi seseorang yang memiliki visi dan misi tertentu. Kelahiran baru penting supaya ia menjalani hidup sebagai insan yang mempunyai semangat dan paradigma baru mengenai kehidupan. Ini mempengaruhi bagaimana kemudian kita menyadari bahwa hidup itu sendiri selalu menjadi langkah baru bagi setiap orang. 4. Batu Paibuan Tanggara: Batu megalitik besar dan batu bedak Ungkara: Batu Paibuan, atau Batu pengasuhan Ibu untuk si jabang bayi. Pada situs ini terdapat juga batu bedak, yang menjadi tanda bagi perawatan ibu kepada anaknya. Uga: Batu ini mengingatkan seseorang pada pengasuhan ibu yang diterimanya pada saat kelahiran, dan pengasuhan ibu yang dialaminya setelah ia “lahir baru”. Pengasuhan ibu berhubungan dengan pendidikan rasa. Rasa penting ditumbuhkan karena kepekaan dan kesadaran akan kehidupan itu sendiri berasal dari kemampuan ini. Ketika rasa berkaitan dengan pikiran, hasilnya ialah pertumbuhan peradaban, manusia yang berbudaya. Pengasuhan rasa dikaitkan dengan pendidikan pikiran. Pendidikan pikiran merupakan bagian dari Ayah. Pendidikan pikiran berkaitan dengan penanaman ilmu dalam artian kemampuan teknis dan pengetahuan umum mengenai kehidupan.

 

10 TOPIK MENARIK LAINNYA

sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin

JANGAN LEWATKAN