Catatan Sejarah Gajah Mada Menjadi Patih

 

Lanjutan dari Catatan Sejarah Sumpah Amukti Palapa

Tidak dapat dipungkiri bahwa Gajah Mada memang adalah tokoh yang berpengaruh kuat pada masa kejayaan Majapahit. Pada masanya, Nusantara bisa dipersatukan di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Tidak banyak informasi dalam sumber sejarah yang tersedia tentang masa-masa awal kehidupannya, kecuali bahwa ia dilahirkan sebagai seorang rakyat biasa yang naik dalam awal kariernya menjadi Begelen atau setingkat kepala pasukan Bhayangkara pada masa pemerintahan Raja Jayanagara (1309-1328).

Patung Gajah Mada
Patung Gajah Mada

Dalam lontar Babad Gajah Maddha, ada sedikit uraian perihal asal-usul Gajah Mada. Dikisahkan bahwa orang tua Gajah Mada berasal dari Wilwatikta, yang dikenal juga sebagai Majalangu. Menurut lontar tersebut, ayah Gajah Mada bernama Curadharmawyasa dan ibunya bernama Niriratih. Mereka berdua menjadi brahmana setelah disucikan oleh Mpu Ragarunting.

Selain itu, ada juga sumber lain yang mengatakan bahwa Gajah Mada bernama lahir Maddha, sedangkan nama Gajah Mada sendiri kemungkinan merupakan nama gelar atau julukan khas (Abhiseka) yang ditujukan untuk orang yang kuat. Dengan demikian, maka nama Gajah Mada berarti orang yang kuat dari Desa Maddha.

Di dalam pupuh Désawarnana atau Nāgarakṛtāgama karya Mpu Prapanca yang ditemukan saat penyerangan Istana Tjakranagara di Pulau Lombok pada tahun 1894, didapatkan informasi bahwa Gajah Mada merupakan patih dari Kerajaan Daha dan kemudian menjadi patih Kerajaan Janggala (Kediri) yang membuatnya kemudian masuk ke dalam strata sosial yang elit pada masa itu.

Gajah Mada digambarkan sebagai “seorang yang mengesankan, berbicara dengan tajam atau tegas, jujur dan tulus ikhlas serta berpikiran sehat”. Memang, dalam sejarah Majapahit, Gajah Mada adalah satu dari sedikit Mahapatih yang sangat tegas dan jujur dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

CATATAN KEBERHASILAN GAJAH MADA

Berangkat dari rakyat biasa, Gajah Mada kemudian berhasil menjadi Mahapatih (Menteri Besar) pada masa pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi, dan kemudian menjabat sebagai Amangkubhumi (Perdana Menteri) yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.

BACA:  Dialog Prabu Brawijaya, Sunan Kalijaga dan Sabdo Palon

Beberapa catatan tentang keberhasilan Gajah Mada selama beliau di Kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut :

  • Memadamkan pemberontakan yang dimpimpin oleh kelompok prajurit Majapahit dibawah pimpinan Ra Kuti
  • Gaja Mada berhasil mengawal terjadinya peralihan kekuasaan saat mangkatnya Jayanegara. Keadaan istana genting, dan para Ratu (Tribhuaneswari, Narendraduhita, Pradnya Paramita, Dyah Dewi Gayatri dan Dara Petak) bingung karena tidak ada lagi penerus laki-laki. Saat itu merupakan masa sulit karena penuh intrik, terutama karena ada perseteruan antara Cakradara dan Kudamerta.
  • Gajah Mda juga berhasil memadamkan pemberontakan Sadeng pada tahun 1331, sehingga membuat Arya Tadah (Patih Majapahit) harus merelakan menyerahkan jabatannya kepada Gajah Mada. Saat itu, Gajah Mada juga mengucapkan Sumpah Amukti Palapa, hingga kemudian berhasil mempersatukan Nusantara sampai Philipina bagian selatan.
  • Selain sebagai negarawan, Gajah Mada terkenal pula sebagai ahli hukum. Kitab hukum yang ia susun sebagai dasar hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa, berdasarkan kitab hukum Kutarasastra (lebih tua) dan kitab hukum Hindu Manawasastra, serta disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku.
BACA:  Menyelusuri Komunitas Muslim Dari Bani Israil

Walaupun usianya terbilang muda untuk menggantikan posisi sebagai Patih Majapahit, namun tidak seorang pun yang meragukan pengabdian dan kesetiaan Gajah Mada terhadap raja dan negaranya. Dimulai dari tindakan heroiknya menyelamatkan sang prabu dari kejaran para pengikut pemberontak Ra Kuti, kemudian membalikkan keadaan dan mengembalikan sang prabu ke singgasananya.

Atas kepemimpinan Gajah Mada pula, persaingan politik perebutan takhta antara dua satria pendamping para putri kedaton bisa diredam, sehingga pergantian kekuasaan setelah mangkatnya prabu Sri Jayanegara bisa berlangsung mulus.

Mengenai Keta dan Sadeng, diceritakan bahwa kedua wilayah bagian Majapahit tersebut berniat memisahkan diri dari kerajaan Majapahit dan melakukan persiapan serius. Diantaranya adalah melakukan perekrutan besar-besaran terhadap warga sipil untuk dididik keprajuritan di tengah hutan Alas Larang. Tujuannya adalah memperkuat angkatan perang kedua wilayah tersebut, yang pada akhirnya akan dibenturkan terhadap kekuatan perang Majapahit.

Gajah Mada berpendapat bahwa sebisa mungkin perang dengan Keta-Sadeng diselesaikan secara psikologis dengan mengadakan provokasi dan adu domba antar kekuatan internal Keta-Sadeng. Bahkan kalau perlu melakukan penculikan terhadap para pemimpin yang menggerakkan perang tersebut. Tujuan akhirnya adalah menyelesaikan konflik Keta-Sadeng dengan biaya kecil-kecilnya.

Dilihat dari kekuatan gelar pasukan, kekuatan Keta-Sadeng bukanlah apa-apa dibanding dengan kekuatan pasukan Majapahit. Namun, dibalik kekuatan fisik pasukan segelar sepapan yang belum sebanding dengan pasukan Gajah Mada, Keta-Sadeng dilindungi oleh kesatria mumpuni yang sakti mandraguna. Ksatria ini adalah mantan pelindung Raden Wijaya, raja Majapahit yang pertama.

BACA:  Senjakala Majapahit, Demak dan Kerukunan Agama
Patung Ilustrasi Pasukan Majapahit Bersama Gajah Mada
Patung Ilustrasi Pasukan Majapahit Bersama Gajah Mada

Nama ksatria tersebut adalah Wirota Wiragati, terkenal dengan kesaktiannya memiliki ajian sirep, ajian panglimunan, dan kekuatan untuk mendatangkan kabut yang bisa menyulitkan daya penglihatan pasukan mana pun.

Namun, dengan kecerdikan Gajah Mada yang disalurkan ke setiap elemen pasukan Bhayangkara yang disusupkan sebagai telik sandi ke wilayah Keta dan Sadeng, akhirnya tujuan Gajah Mada untuk mengakhiri perang Keta-Sadeng dengan biaya minimal akhirnya tercapai.

Setelah menuntaskan tugas pemadaman pemberontakan Keta-Sadeng, akhirnya Gajah Mada siap untuk didaulat menjadi mahapatih menggantikan Arya Tadah. Dalam sidang penunjukkannya sebagai mahapatih itulah Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal: Hamukti Palapa.

Pada saat itu, Majapahit juga menjalin hubungan dengan kerajaan Swarnabhumi, di pulau Sumatra. Kedatangan raja Swarnabhumi, Adityawarman ke Majapahit digambarkan menggunakan kapal perang berukuran besar yang belum ada tandingannya dari kesatuan pasukan laut Majapahit.

Adityawarman sendiri adalah saudara sepupu mendiang prabu Sri Jayanegara, sekaligus sahabat yang cukup dekat dengan Gajah Mada. Penggambaran besarnya ukuran kapal perang dari Swarnabhumi agaknya dimaksudkan sebagai cikal bakal adopsi teknologi yang menjadikan besarnya armada laut Majapahit kelak ketika penyatuan nusantara dimulai.

 

10 TOPIK MENARIK LAINNYA

sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin

JANGAN LEWATKAN