Legenda Sabdo Palon dan Naya Genggong

 

Legenda Sabdo Palon dan Naya GenggongAJAIBNYA.COM – Telah banyak tersiar kabar, informasi, cerita legenda dan hikayat tentang keberadaan abdi dalem Kraton Majapahit yang bernama Sabdo Palon dan Naya Genggong.

Dari yang bersifat sangat halus hingga yang berisi sumpah serapah yang bersangkutan di era runtuhnya Majapahit.

Belum lagi terbitnya saduran buku-buku baik berupa ajaran atau ramalan yang mengatas namakan dua abdi ini, tetapi semuanya tidak dapat menunjukkan rujukan asli dari sumber ceritanya.

Sesungguhnya penokohan abdi dalem yang bernama Sabdo Palon dan Noyo Genggong itu adalah nyata dan ada (bukan bersifat ghaib atau klenik). Akan tetapi masyarakat luas telah tercuci otaknya dengan pola berpikir mistis telah menganggap tokoh ini adalah sejenis mahluk ghaib berjenjang dewata dan mempunyai umur yang abadi.

Sabdo Palon dan Noyo Genggong belum dikenal dimasa pemerintahan raja pertama Sangrama Wijaya yang berabhiseka Sri Kertarajasa Jayawardhana maupun raja kedua Dyah Jayanegara yang berabhiseka Sri Sundarapandyadewa Adhiswara, di masa itu abdi dalem yang melekat pada keluarga raja adalah Sang Sapu Angin dan Sang Sapu Jagad.

Dalam konteks ini nama sesungguhnya dari abdi raja tersebut bukanlah itu, gelar tersebut lebih dekat pada sifat perilaku sang abdi. Sapu Jagad berkonotasi Sapu = yang membersihkan / yang mengatasi dan Jagad = masalah-masalah yang bersifat keduniawian, jadi Sang Sapu Jagad adalah seorang abdi yang piawai dalam ilmu keduniawian dan kanuragan.

Sedangkan Sapu Angin berkonotasi Sapu = yang membersihkan / yang mengatasi dan Angin = masalah-masalah yang bersifat spiritual atau kebathinan, jadi Sang Sapu Angin adalah seorang abdi yang piawai dalam hal keagamaan dan spiritual / kebathinan. Begitu abdi ini menduduki jabatan tersebut, maka nama pribadinya akan ditinggalkan dan memakai gelar barunya sebagai Sang Sapu Angin dan Sang Sapu Jagad.

Hal ini dapat anda buktikan bila mengunjungi Sitihinggil Majapahit, di belakang posisi raja (Sri Kertarajasa Jayawardhana dan istri-istrinya) ada bangunan makam Sang Sapu Angin dan Sang Sapu Jagad. Demikian pula lokasi Candi Bajang Ratu tempat abu jenazah Sri Sundarapandyadewa Adhiswara (Dyah Jayanegara) di kompleks candi juga di temui model makam sejenis.

Sabdo Palon dan Noyo Genggong secara eksplisit baru dikenal pada era pemerintahan raja ke-3: Prabhu Stri / Rani Dyah Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa yang berabhiseka Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Hal ini atas masukan dari Maha Rsi Maudara sebagai Mahapatih Dalam Pura, yang merubah karakter sebelumnya menjadi Sabdo Palon dan Noyo Genggong.

BACA:  Silsilah Keturunan Sam Bin Nuh

Alasannya adalah ketika pemerintahan raja ke-2 banyak terjadi pemberontakan akibat adanya HASUTAN dari orang-orang di dekat raja, sehingga diputuskan untuk membuat mekanisme steril dan memberi pendampingan berupa tokoh yang mampu memberikan pertimbangan obyektif kepada raja. Sedangkan masalah keamanan raja dan keluarganya diserahkan penuh kepada Dharmaputra dan Bhayangkara (semacam paspampres dan pasukan khusus pelindung kotaraja / ibukota).

Sama dengan konsep Sang Sapu Angin dan Sang Sapu Jagad, Sabdo Palon dan Noyo GenggoNG bukanlah nama asli dari sang abdi tetapi gelar yang diberikan abdi sesuai karakter tugas yang diembannya.

Sabdo Palon berkonotasi Sabdo = seseorang yang memberikan masukan / ajaran dan Palon = kebenaran yang bergema dalam ruang semesta. Jadi Sabdo Palon = Seseorang abdi yang berani menyuarakan kebenaran kepada raja dan berani menanggung akibatnya.

Naya Genggong berkonotasi Naya = nayaka atau seseorang abdi raja dan Genggong = mengulang-ulang suara, jadi Naya Genggong = Seseorang abdi yang berani mengingatkan raja secara berulang-ulang tentang kebenaran dan berani menanggung akibatnya.

Sabdo Palon bereaksi sebagai abdi yang memberikan pertimbangan sebelum raja mengambil tindakan, sedangkan Naya Genggong adalah abdi yang memberikan teguran apabila raja melakukan kekeliruan dalam berperilaku.

Yang luar biasa dari konsep ini adalah Sabdo Palon dan Naya Genggong diambil dari abdi yang buta huruf tetapi mempunyai pemahaman yang mendalam atas tugasnya sebagai pihak yang jadi pertimbangan raja. Alasannya, dengan kondisinya yang buta huruf, akan memperkecil pengaruh dari pihak luar dalam penyampaian pertimbangan ke raja, juga menjadi pertimbangan spiritual bagi raja .

Bahwa ada seseorang biasa (bukan bangsawan) dan buta huruf yang berani menegur raja dan teguran itu membawa suara KEBENARAN, jelas abdi ini adalah mahluk yang mendapat pencerahan dari Tuhan (kata hati sang raja). Maka unsur tertiggi dari dua abdi ini adalah kejujuran, keluguan dan pemahaman yang mendalam atas hukum kebenaran semesta. Itulah kepangkatan abdi dalem yang terdekat dengan Raja Majapahit : Sabdo Palon dan Naya Genggong.

Sabdo Palon dan Naya Genggong yang pertama kali ada adalah di era kepemimpinan Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Bisa dibuktikan di petilasan beliau di desa Panggih – Trowulan, disana selain petilasan Maha Rsi MAUDARA juga akan anda temukan petilasan (sekarang dibentuk model makam) dari dua abdi kinasih : Sabdo Palon dan Naya Genggong ini.

BACA:  Legenda Gunung Lokon

Karena ini konsep struktural kenegaraan di era itu, hal yang sama juga di warisi oleh raja-raja berikutnya di Majapahit, itulah sebabnya banyak sekali tersebar petilasan yang berkonotasi Sabdo Palon dan Naya Genggong. Karena sejumlah beberapa era raja di Majapahit, sebanyak itu pula Sabdo Palon dan Naya Genggong ada.

Bila didekati secara spiritual, ada pertanyaan : Bisa tidak diasumsikan bahwa Sabdo Palon dan Naya Genggong adalah mahluk superior pilihan Tuhan guna menjadi pangemban Raja Majapahit? Jawabannya adalah bisa dianggap demikian, alasannya: jujur, memahami hukum semesta, teguh menyuarakan kebenaran, pandai walaupun buta huruf, berasal dari rakyat kebanyakan, tidak silau harta benda maupun jabatan meskipun dekat pengambil keputusan.

Jelas hanya mahluk pilihan yang mampu menduduki derajat ini. Tapi kalau didekati secara MISTIS, bahwa Sabdo Palon dan Naya Genggong adalah tokoh sekaliber Semar atau Kanjeng Gusti Ratu Ayu Kencanasari, Jawabannya TIDAK seperti itu kedudukannya dalam tata krama keghaiban, malah bisa-bisa orang yang mendapat pangkat Sabdo Palon dan Naya Genggong itu bisa disusupi kekuatan spiritual Semar atau Kanjeng Gusti Ratu Ayu Kencanasari.

Sekarang kami akan membicarakan hal yang sedikit rumit, khususnya era keruntuhan Majapahit pada masa pemerintahan Sri Girindrawardhana. Dibanyak buku yang beredar pada saat ini, tergambar seakan-akan Sabdo Palon dan Naya Genggong ketika berpisah atau memisahkan diri dengan momongannya atau sang Raja mengeluarkan SUMPAH SERAPAH, yang kemudian dikenal luas oleh masyarakat sebagai: Buku Sabdo Palon dan Naya Genggong Nagih Janji dan dikenal pula sebagai Jangka Sabdo Palon dan Naya Genggong.

kami telah berupaya secara tata lahir maupun tata bathin mencari benang merah karya tulis tersebut dengan kenyataan yang ada. Tetapi berkali-kali mengalami jalan buntu guna menemukan referensi nyatanya, malah cenderung mengarah bahwa karya tersebut dilahirkan di era Mataram Islam oleh salah satu pujangga kratonnya.

Yang agak unik ternyata banyak terjadi kemiripan dengan kasus pustaka raja Jangka Sri Aji Jayabaya yang muncul ditengah masyarakat tidak dalam bentuk penuh (cuplikan) yang disadur dalam judul Jangka Jayabaya Mussasar dan beberapa lagi yang menggunakan nama Islam dibelakangnya, padahal kita semua tahu sang Prabhu beragama Hindu-Budha.

Dan lagi-lagi mengarah ke pujangga Mataram Islam yang melakukan pensadurannya. Lepas dari apa yang menjadi motivasinya (apakah bernilai positif ataukah negatif bagi ketokohan Sabdo Palon dan Naya Genggong), kami merasa ini karya tulis sadur dari Jangka Jayabaya yang dikombinasikan dengan perasaan terluka sebagian masyarakat Jawa atas pertikaian Islam dan Hindu yang terjadi saat itu.

BACA:  Keajaiban Manusia Purba Sulawesi Hidup Ratusan Ribu Tahun Lalu

Logikanya, Sabdo Palon dan Naya Genggong adalah abdi yang dibuat oleh sistem pemerintahan dengan mengutamakan asas kejujuran dan nilai kebenaran semesta guna mendampingi seorang Raja Majapahit. Dimana di dalam wisudanya mereka berjanji akan senantiasa jujur dan teguh menyuarakan kebenaran bagi raja, dan akan mengabdi seumur hidupnya guna kejayaan nusantara.

Maka ketika kejadian mereka menegur raja dengan keras atas hal-hal yang dianggap melanggar pranata, kami masih bisa terima secara logika, tetapi ketika mereka menyumpah serapah semesta raya yang dapat menimbulkan bencana bagi nusantara, nah yang ini kami tidak sependapat atau tidak bisa kami terima secara logika.

Karena jatidiri mereka telah lebih dari sekedar siap untuk berkorban demi sang raja dan nusantara raya, terus kenapa menghancurkannya dengan sumpah atas perjuangan yang mereka bangun dan pengorbanan para Sabdo Palon dan Naya Genggong sebelumnya?

Disinilah kami mengajak anda semua untuk berpikir panjang dan berbersih hati guna memahami kebenaran yang sejati. Ketika diceritakan Sabdo Palon dan Naya Genggong mengambil jalannya sendiri dan berpisah dengan raja, ini juga hal yang tidak cocok dengan konteks sumpah jabatannya.

Setelah mengalami proses perenungan dan mengunjungi lokasi petilasan yang ada khususnya di lereng Gunung Lawu, Sabdo Palon dan Naya Genggong tidak pernah berpisah dengan Sri Girindrawardhana hingga akhir hayatnya. Banyak jejak kebersamaan para beliau dalam pengungsian di tlatah kekuasaan Bhre Mataram (sepupu sepuh sang raja), dari Pengging, Pantai di pesisir selatan Gunung Kidul, Wonogiri, lereng Lawu dan puncak Lawu.

Justru pertimbangan dari Sabdo Palon dan Naya Genggong lah yang menurut kami mampu menenangkan sang Raja dari gundahnya pikiran, dan memutuskan menjadi Panembahan di Gunung Lawu. Sabdo Palon dan Naya Genggong juga yang membimbing proses pelepasan ego raja dan mensucikannya menjadi pertapa di sepanjang lereng hingga puncak Lawu.

Kedua tokoh ini justru menjadi kunci bagi sang raja mencapai pemahaman tertingginya atas kebenaran semesta yang diwedhar di Candi Sukuh dan Candi Cetho, sehingga ketika pencerahan itu terjadi, dua abdi ini yang pertama kali menyembah kepada Sri Girindrawardhana dengan memanggilnya sebagai Panembahan Agung.

 

10 TOPIK MENARIK LAINNYA

sajak sunda sedih, kesaktian eyang surya kencana, Java tel aviv, kayu tlogosari, orang terkaya di dharmasraya, naskah drama bahasa sunda 10 orang, sunan pangkat, tokoh wayang berdasarkan weton, penguasa gaib pulau sumatera, Ki sapu angin

JANGAN LEWATKAN